Wacana Etika dalam BisnisPerbincangan tentang
"etika bisnis" di sebagian besar paradigma pemikiran pebisnis terasa
kontradiksi interminis (bertentangan dalam dirinya sendiri) atau
oxymoron ; mana mungkin ada bisnis yang bersih, bukankah setiap orang
yang berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus berani (paling
tidak) "bertangan kotor".
Apalagi ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali
muncul berkaitan dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila
"beretika" maka bisnisnya terancam pailit. Disebagian masyarakat yang
nir normative dan hedonistik materialistk, pandangan ini tampkanya bukan
merupakan rahasia lagi karena dalam banyak hal ada konotasi yang
melekat bahwa dunia bisnis dengan berbagai lingkupnya dipenuhi dengan
praktik-praktik yang tidak sejalan dengan etika itu sendiri.
Begitu
kuatnya oxymoron itu, muncul istilah business ethics atau ethics in
business. Sekitar dasawarsa 1960-an, istilah itu di Amerika Serikat
menjadi bahan controversial. Orang boleh saja berbeda pendapat mengenai
kondisi moral lingkungan bisnis tertentu dari waktu ke waktu. Tetapi
agaknya kontroversi ini bukanya berkembang ke arah yang produktif, tapi
malah semakin menjurus ke suasana debat kusir.
Wacana tentang
nilai-nilai moral (keagamaan) tertentu ikut berperan dalam kehidupan
sosial ekonomi masyarakat tertentu, telah banyak digulirkan dalam
masyarakat ekonomi sejak memasauki abad modern, sebut saja Misalnya, Max
weber dalam karyanya yang terkenal, The Religion Ethic and the Spirit
Capitaism, meneliti tentang bagaimana nilai-nilai protestan telah
menjadi kekuatan pendorong bagi tumbuhnya kapitalisme di dunia Eropa
barat dan kemudian Amerika. Walaupun di kawasan Asia (terutama Cina)
justru terjadi sebaliknya sebagaimana yang ditulis Weber. Dalam karyanya
The Religion Of China: Confucianism and Taoism, Weber mengatakan bahwa
etika konfusius adalah salah satu faktor yang menghambat tumbuhnya
kapitalisme nasional yang tumbuh di China. Atau yang lebih menarik
barangkali adalah Studi Wang Gung Wu, dalam bukunya China and The
Chinese Overseas, yang merupakan revisi terbaik bagi tesisnya weber yang
terakhir.
Di sisi lain dalam tingkatan praktis tertentu, studi
empiris tentang etika usaha (bisnis) itu akan banyak membawa manfaat:
yang bisa dijadikan faktor pendorong bagi tumbuhnya ekonomi, taruhlah
dalam hal ini di masyarakat Islam. Tetapi studi empiris ini bukannya
sama sekali tak bermasalah, terkadang, karena etika dalam ilmu ini
mengambil posisi netral (bertolak dalam pijakan metodologi
positivistis), maka temuan hasil setudi netral itu sepertinya kebal
terhadap penilaian-penilaian etis.
Menarik untuk di soroti adalah
bagaimana dan adakah konsep Islam menawarkan etika bisnis bagi pendorong
bangkitnya roda ekonomi. Filosofi dasar yang menjadi catatan penting
bagi bisnis Islami adalah bahwa, dalam setiap gerak langkah kehidupan
manusia adalah konsepi hubungan manusia dengan mansuia, lingkungannya
serta manusai dengan Tuhan (Hablum minallah dan hablum minannas). Dengan
kata lain bisnis dalam Islam tidak semata mata merupakan manifestasi
hubungan sesama manusia yang bersifat pragmatis, akan tetapi lebih jauh
adalah manifestasi dari ibadah secara total kepada sang Pencipta.
Etika Islam Tentang BisnisDalam
kaitannya dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan
filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya
konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta
hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan
istilah (hablum minallah wa hablumminannas). Dengan berpegang pada
landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun
akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan) di setiap aspek
hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim
dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata
orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan
kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis
menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.
Dalam ekonomi Islam,
bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal yang
bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi
juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat
investasi akherat. Artinya, jika oreientasi bisnis dan upaya investasi
akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan
kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan
kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan
dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia,
tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan"
(diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat.
Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat Al-Qur'an.
Wahai
Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu
perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih ?
yaitu beriman kepada allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah
dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui
Di sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi
interpretasi yang keluru terhadap teks al-Qur'an tersebut, sekilas nilai
Islam ini seolah menundukkan urusan duniawi kepada akhirat sehingga
mendorong komunitas muslim untuk berorientasi akhirat dan mengabaikan
jatah dunianya, pandangan ini tentu saja keliru. Dalam konsep Islam,
sebenarnya Allah telah menjamin bahwa orang yang bekerja keras mencari
jatah dunianya dengan tetap mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk
memperoleh kemenangan duniawi, maka ia tercatat sebagai hamba Tuhan
dengan memiliki keseimbangan tinggi. Sinyalemen ini pernah menjadi
kajian serius dari salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi, dalam
sebuah pernyataannya.
"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh
menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan Al-Qur'an yang diterapkan kepada
mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas
mereka (akhirat) dan dari bawah kaki mereka (dunia)."
Logika Ibn Arabi itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik dari hadits maupun duinia ekonomi, sebagaimana Nabi SAW bersabda :
Barangsiapa
yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa
yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa
yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu."
Pernyataan
Nabi tersebut mengisaratkan dan mengafirmasikan bahwa dismping persoalan
etika yang menjadi tumpuan kesuksesan dalam bisnis juga ada faktor lain
yang tidak kalah pentingnya, yaitu skill dan pengetahuantentang etika
itu sendiri. Gagal mengetahui pengetahuan tentang etika maupun prosedur
bisnis yang benar secara Islam maka akan gagal memperoleh tujuan. Jika
ilmu yang dibangun untuk mendapat kebehagiaan akhirat juga harus
berbasis etika, maka dengan sendirinya ilmu yang dibangun untuk duniapun
harus berbasis etika. Ilmu dan etika yang dimiliki oleh sipapun dalam
melakukakan aktifitas apapun ( termasuk bisnis) maka ia akan mendapatkan
kebahagian dunia dan akhirat sekaligus.
Dari sudut pandang dunia
bisnis kasus Jepang setidaknya telah membuktikan keyakinan ini, bahwa
motivasi prilaku ekonomi yang memiliki tujuan lebih besar dan tinggi
(kesetiaan pada norma dan nilai etika yang baik) ketimbang bisnis
semata, ternyata telah mampu mengungguli pencapaian ekonomi Barat
(seperti Amerika) yang hampir semata-mata didasarkan pada kepentingan
diri dan materialisme serta menafikan aspek spiritulualisme. Jika fakta
empiris ini masih bisa diperdebatkan dalam penafsirannya, kita bisa
mendapatkan bukti lain dari logika ekonomi lain di negara China, dalam
sebuah penelitian yang dilakukan pengamat Islam, bahwa tidak semua
pengusaha China perantauan mempunyai hubungan pribadi dengan pejabat
pemerintah yang berpeluang KKN, pada kenyataannya ini malah mendorong
mereka untuk bekerja lebih keras lagi untuk menjalankan bisnisnya secara
professional dan etis, sebab tak ada yang bisa diharapkan kecuali
dengan itu, itulah sebabnya barangkali kenapa perusahaan-perusahaan
besar yang dahulunya tidak punya skil khusus, kini memiliki kekuatan
manajemen dan prospek yang lebih tangguh dengan dasar komitmen pada akar
etika yang dibangunnya
Demikianlah, satu ilustrasi komperatif
tentang prinsip moral Islam yang didasarkan pada keimanan kepada
akhirat, yang diharapkan dapat mendorong prilaku positif di dunia,
anggaplah ini sebagai prinsip atau filsafah moral Islam yang bersifat
eskatologis, lalu pertanyaan lebih lanjut apakah ada falsafah moral
Islam yang diharapkan dapat mencegah prilaku curang muslim, jelas ada,
Al-Qur'an sebagaimana Adam Smith mengkaitkan system ekonomi pasar bebas
dengan "hukum Kodrat tentang tatanan kosmis yang harmonis". Mengaitkan
kecurangan mengurangi timbangan dengan kerusakan tatanan kosmis,
Firman-Nya : "Kami telah menciptakan langit dan bumi dengan
keseimbangan, maka janganlah mengurangi timbangan tadi." Jadi bagi
Al-Qur'an curang dalam hal timbangan saja sudah dianggap sama dengan
merusak keseimbangan tatanan kosmis, Apalagi dengan mendzhalimi atau
membunuh orang lain merampas hak kemanusiaan orang lain dalam sektor
ekonomi)
Firman Allah : "janganlah kamu membunuh jiwa, barangsiapa
membunuh satu jiwa maka seolah dia membunuh semua manusia (kemanusiaan)"
Sekali lagi anggaplah ini sebagai falsafah moral Islam jenis kedua yang didasarkan pada tatanan kosmis alam.
Mungkin
kata hukum kodrat atau tatanan kosmis itu terkesan bersifat metafisik,
suatu yang sifatnya debatable, tapi bukankah logika ilmu ekonomi tentang
teori keseimbanganpun sebenarnya mengimplikasikan akan niscayanya
sebuah "keseimbangan" (apapun bentuknya bagi kehidupan ini), Seringkali
ada anggapan bahwa jika sekedar berlaku curang dipasar tidak turut
merusak keseimbangan alam, karena hal itu dianggap sepele, tetapi jika
itu telah berlaku umum dan lumrah dimana-mana dan lama kelamaan berubah
menjadi semacam norma juga, maka jelas kelumrahan perilaku orang itu
akan merusak alam, apalagi jika yang terlibat adalah orang-orang yang
punya peran tanggung jawab yang amat luas menyangkut nasib hidup banyak
orang dan juga alam keseluruhan.
Akhirnya, saya ingin mengatakan
bahwa dalam kehidupan ini setiap manusia memang seringkali mengalami
ketegangan atau dilema etis antara harus memilih keputusan etis dan
keputusan bisnis sempit semata sesuai dengan lingkup dan peran tanggung
jawabnya, tetapi jika kita percaya Sabda Nabi SAW, atau logika ekonomi
diatas, maka percayalah, jika kita memilih keputusan etis maka pada
hakikatnya kita juga sedang meraih bisnis.
Wallahu 'A'lam. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar